Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Standar Profesi Apoteker

Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Standar Profesi Apoteker


Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Standar Profesi Apoteker diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan melaksanakan ketentuan Pasal Pasal 66 66 ayat ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

 

Dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: Tentang Standar Profesi Apoteker bahwa maksud diterbitkannya aturan ini adalah: a) Sebagai pedoman bagi Apoteker dalam melaksanakan praktik kefarmasian yang terukur, terstandar dan berkualitas di fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan kefarmasian; b) Tersusunnya Tersusunnya Standar Kompetensi Apoteker Apoteker sebagai bagian dari Standar Profesi Apoteker.

 

Sedangankan tujuannnya adalah: a) Sebagai referensi dalam penyusunan kewenangan Apoteker untuk menjalankan praktik di fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan kefarmasian; b) Sebagai referensi dalam dalam penyusunan kurikulum pendidikan profesi Apoteker.; c) Sebagai referensi dalam penyelenggaraan program pengembangan pengembangan keprofesian Apoteker.

 

Diktum KESATU Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker menyatakan Standar profesi Apoteker terdiri atas: a) standar kompetensi; dan b) kode etik profesi.

 

Diktum KEDUA Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker menyatakan mengesahkan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

 

Diktum KETIGA Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker menyatakan bahwa Kode etik profesi profesi sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU huruf b ditetapkan oleh organisasi profesi.

 

Diktum KEEMPAT Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker menyatakan bahwa Keputusan Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yakni 6 Januari 2023.

 

Salah satu tantangan pembangunan kesehatan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah berbagai masalah kesehatan yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Saat ini kita masih menghadapi beberapa isu serius diantaranya penyakit infeksi yang belum sepenuhnya dapat dikendalikan sehingga prevalensinya masih tinggi diantaranya sekitar 2,6 juta (1,68%) ibu hamil positif Hepatitis B, Tuberkulosis 351.936 kasus, Demam Berdarah Dengue (DBD) 108.303 kasus. Beberapa penyakit infeksi masih menunjukkan peningkatan diantaranya kasus suspek Pneumonia pada balita meningkat dari 10% di tahun 2010 menjadi 34,8% menjadi 34,8% di tahun 2020.

 

Di sisi lain penyakit tidak menular (degeneratif) semakin meningkat dan kompleks. Data tahun 2020 menunjukkan prevalensi pengidap Diabetes Mellitus (DM) meningkat 6,2% (lebih dari 10,8 juta penduduk mengidap DM) dan sekitar 35,23% penduduk diperkirakan menderita Hipertensi.

 

Masalah lain adalah potensi kembalinya penyakit yang sebelumnya telah terkendali (infeksi re-emerging) terlihat dari Kejadian Luar Biasa (KLB) Hepatistis A yang masih terjadi setiap tahun dan adanya Diare endemis masih berpotensi KLB. Adanya Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang sampai saat ini masih berstatus pandemik. berstatus pandemik.

 

Penatalaksanaan berbagai penyakit tersebut membutuhkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam jumlah dan jenis yang cukup, baik untuk diagnostik, mengatasi penyebab penyakit, upaya pencegahan, maupun untuk mengendalikan faktor risiko agar tidak meningkat ke komplikasi. Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2021 menunjukkan peningkatan ketersediaan obat-obatan dan alat kesehatan. Selama tahun 2016-2021 sebanyak 21.577 produk obat, 15.005 produk obat tradisional, dan 219.077 produk kosmetik memperoleh izin edar. Dalam 3 bulan terakhir tahun 2021 ada 961 produk obat, 1.065 produk obat tradisional, dan 23.537 produk kosmetik, dan 6.638 alat kesehatan yang memperoleh izin edar.

 

Peningkatan jumlah dan jenis sediaan farmasi dan alat kesehatan tersebut sejalan dengan peningkatan jumlah dan jenis fasilitas kefarmasian, baik fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan kefarmasian. Jumlah rumah sakit di Indonesia dari tahun 2016-2020 meningkat sebesar 12,86%. Pada tahun 2020 terdapat 2985 rumah sakit, 10.203 puskesmas, 4.095 sarana produksi, dan 45.775 sarana distribusi kefarmasian, termasuk 30.199 apotek.

 

Peningkatan kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perkembangan fasilitas pelayanan kefarmasian meningkatkan kebutuhan tenaga kesehatan khususnya Apoteker yang memiliki kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian yaitu pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

 

Di sisi lain pesatnya perkembangan teknologi informasi meningkatkan kemampuan penerima pelayanan kefarmasian untuk memperoleh berbagai informasi yang mendorong perubahan gaya hidup dan persepsi penerima pelayanan kefarmasian tentang obat-obatan dan sediaan farmasi lainnya. Perkembangan ini mendorong penerima pelayanan kefarmasian untuk melakukan pengobatan mandiri (swamedikasi). Peningkatan ketersediaan media komunikasi informasi ini memberikan keleluasaan akses informasi tanpa batas para penerima pelayanan kefarmasian, termasuk keleluasaan untuk mendapatkan obat. Namun informasi maupun produk yang diterima oleh penerima pelayanan kefarmasian tidak selalu akurat dan berkualitas sehingga pengobatan yang dilakukan kurang tepat. Agar tepat guna serta terjaga keamanannya upaya pengobatan mandiri yang dilakukan oleh penerima pelayanan kefarmasian perlu pendampingan dari Apoteker.

 

Ketersediaan Apoteker saat ini dapat dilihat dalam data Komite Farmasi Nasional. Pada tahun 2021 terdapat 7.360 Apoteker baru yang lulus dari pendidikan, total Apoteker yang memiliki Surat Tanda lulus dari Apoteker (STRA) sebanyak 95.384 tersebar di berbagai bidang praktik kefarmasian. Data sebaran Apoteker di tahun 2020 menunjukkan 13.221 Apoteker berada di rumah sakit (memenuhi 96,65% dari kebutuhan minimal untuk rawat inap), Apoteker di puskesmas baru sekitar 58,12% dari kebutuhan minimal, dan baru 30% puskesmas yang telah memiliki dari Apoteker. Saat ini rasio Apoteker terhadap penduduk di Indonesia baru mencapai 0,68 per 2.000 penduduk, masih di bawah standar World Health Organization (WHO) (1: 2.000).

 

Kebutuhan Apoteker ini seharusnya bisa dipenuhi oleh pendidikan farmasi di Indonesia. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan farmasi di Indonesia adalah sampai akhir tahun 2021 baru 52 dari 213 institusi yang memiliki prodi S1 Farmasi terakreditasi Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes) yang mampu menyelenggarakan pendidikan profesi Apoteker. Kondisi ini menyebabkan variasi mutu pada penerimaan calon mahasiswa pendidikan profesi Apoteker yang berdampak pada variasi mutu lulusan.

 

Meningkatnya kebutuhan pelayanan kefarmasian, luasnya lingkup praktik profesi Apoteker, variasi mutu lulusan pendidikan profesi Apoteker, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian menegaskan perlunya standar kompetensi yang memuat batasan minimal pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang harus dikuasai oleh seorang Apoteker. Penetapan standar kompetensi ini diharapkan menjadi pendorong bagi perguruan tinggi untuk diharapkan meningkatkan mutu pendidikan agar lulusan yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.


Manfaat diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker adalah sebagai berikut 1) Bagi Apoteker adalah Sebagai pedoman bagi Apoteker dalam melaksanakan praktik kefarmasian, alat untuk mengukur kemampuan diri, serta pendorong untuk terus melakukan upaya peningkatan diri (life-long learner). 2) Bagi Institusi Pendidikan adalah sebagai acuan dalam penyusunan kurikulum dan pengembangan pengajaran, mendorong konsistensi dalam menyelenggarakan pendidikan, serta penetapan kriteria pengujian dan instrumen/ alat ukur pengujian. 3) Bagi Pemerintah/Pengguna adalah sebagai acuan dalam perencanaan pegawai, rekrutmen dan seleksi pegawai, pengangkatan/penempatan dalam jabatan, penilaian kinerja, remunerasi/insentif dan disinsentif, serta kebutuhan pendidikan dan pelatihan dalam memenuhi peningkatan/pengembangan kompetensi Apoteker. 4) Bagi Organisasi Profesi adalah sebagai acuan dalam pengaturan keanggotaan, tata kelola organisasi, pelaksanaan program pengembangan keprofesian berkelanjutan, serta penilaian kompetensi Apoteker lulusan luar negeri. 5) Bagi Masyarakat adalah tersedianya acuan untuk mendapatkan karakteristik profesi Apoteker yang dapat memenuhi kebutuhan praktik kefarmasian.


Selengkapnya silahkan download dan baca Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker. LINK DOWNLOAD DISINI

 

Demikian informasi tentang Keputusan Menteri Kesehatan atau KMK Nomor: HK.01.07/MENKES/13/2023 Tentang Standar Profesi Apoteker. Semoga ada manfaatnya.



= Baca Juga =


*

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post