Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan

Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan



Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek tentang PPKSP) diterbitkan untuk melaksanakan pelindungan dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dilakukan pencegahan dan penanganan kekerasan yang mempertimbangkan hak peserta didik dalam memperoleh lingkungan satuan pendidikan yang ramah, aman, nyaman, dan menyenangkan bagi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya

 

Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan merupakan pengganti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan

 

BAB I KETENTUAN UMUM

 

Bagian Kesatu Pengertian

 

Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan, menyatakan bahwa dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Pencegahan adalah tindakan, cara, atau proses yang dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan Kekerasan di satuan pendidikan.

2. Penanganan adalah tindakan, cara, atau proses untuk menyelesaikan Kekerasan di satuan pendidikan.

3. Kekerasan adalah setiap perbuatan, tindakan, dan/atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.

4. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

6. Dinas Pendidikan adalah dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang pendidikan.

7. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah tim yang berfungsi sebagai koordinator Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan di tingkat daerah.

8. Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan yang selanjutnya disingkat TPPK adalah tim yang dibentuk satuan pendidikan untuk melaksanakan upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan.

9. Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas satuan pendidikan, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

10. Warga Satuan Pendidikan adalah peserta didik, pendidik, Tenaga Kependidikan lainnya yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan di lingkungan satuan pendidikan.

11. Warga Satuan Pendidikan Lainnya adalah masyarakat yang beraktifitas atau yang bekerja di lingkungan satuan pendidikan.

12. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

13. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

14. Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.

15. Peserta Didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

16. Korban adalah setiap orang yang mengalami Kekerasan.

17. Pelapor adalah setiap orang yang melaporkan mengenai Kekerasan yang dialami atau diketahui.

18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan atas apa yang didengar, dilihat, dan/atau dialami terhadap dugaan terjadinya Kekerasan.

19. Terlapor adalah setiap orang yang diduga melakukan Kekerasan terhadap Korban.

20. Masyarakat adalah perseorangan, kelompok, dan/atau organisasi kemasyarakatan.

 

Bagian Kedua Maksud dan Tujuan

 

Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan menyatakan:

(1) Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimaksudkan untuk:

a. melindungi Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya dari Kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan;

b. mencegah Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya, melakukan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

c. melindungi dan mencegah setiap orang dari Kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan;

d. mengatur mekanisme Pencegahan, Penanganan, dan sanksi terhadap tindakan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan

e. membangun lingkungan satuan pendidikan yang ramah, aman, inklusif, setara, dan bebas dari tindakan diskriminasi dan intoleransi.

(2) Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan bertujuan agar:

a. Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya mampu mencegah terjadinya Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

b. Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya mampu untuk melaporkan Kekerasan yang dialami dan/atau diketahuinya;

c. Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya mampu mencari dan mendapatkan bantuan ketika mengalami Kekerasan;

d. Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya yang mengalami Kekerasan bisa segera mendapatkan penanganan dan bantuan yang menyeluruh;

e. satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kementerian mampu merespons dan menangani Kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan sesuai dengan tugas dan kewenangannya; dan

f. satuan pendidikan, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, dan Kementerian mampu mencegah terjadinya Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

 

Bagian Ketiga Prinsip

 

Pasal 3 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek tentang PPKSP), menyatakan bahwa Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dilaksanakan dengan prinsip:

a. nondiskriminasi;

b. kepentingan terbaik bagi anak;

c. partisipasi anak;

d. keadilan dan kesetaraan gender;

e. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;

f. akuntabilitas;

g. kehati-hatian; dan

h. keberlanjutan pendidikan.

 

Bagian Keempat Sasaran

 

Pasal 4 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP menyatakan bahwa

(1) Sasaran dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi:

a. Peserta Didik;

b. Pendidik;

c. Tenaga Kependidikan;

d. orang tua/wali;

e. Komite Sekolah; dan

f. Masyarakat.

(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. satuan pendidikan anak usia dini;

b. satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar;

c. satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah, pada jalur pendidikan formal dan nonformal.

 

Bagian Kelima Cakupan

 

Pasal 5 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan menyatakan bahwa Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan mencakup:

a. Kekerasan yang dilakukan oleh Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya atau terhadap Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya di dalam lokasi satuan pendidikan;

b. Kekerasan dalam kegiatan satuan pendidikan yang dilakukan oleh Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya di luar lokasi satuan pendidikan atau terhadap Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya di luar lokasi satuan pendidikan; dan

c. Kekerasan yang melibatkan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan.

 

 

BAB II BENTUK KEKERASAN

 

Pasal 6 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, menyatakan bahwa

(1) Bentuk Kekerasan terdiri atas:

a. Kekerasan fisik;

b. Kekerasan psikis;

c. perundungan;

d. Kekerasan seksual;

e. diskriminasi dan intoleransi;

f. kebijakan yang mengandung Kekerasan; dan

g. bentuk Kekerasan lainnya.

(2) Bentuk Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara fisik, verbal, non verbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi.

 

Pasal 7 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP menyatakan bahwa

(1) Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dilakukan oleh pelaku kepada Korban dengan kontak fisik oleh pelaku kepada Korban dengan atau tanpa menggunakan alat bantu.

(2) Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. tawuran atau perkelahian massal;

b. penganiayaan;

c. perkelahian;

d. eksploitasi ekonomi melalui kerja paksa untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku;

e. pembunuhan; dan/atau

f. perbuatan lain yang dinyatakan sebagai Kekerasan fisik dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.

 

Pasal 8 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP menyatakan bahwa

(1) Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah setiap perbuatan nonfisik yang dilakukan bertujuan untuk merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman.

(2) Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. pengucilan;

b. penolakan;

c. pengabaian;

d. penghinaan;

e. penyebaran rumor;

f. panggilan yang mengejek;

g. intimidasi;

h. teror;

i. perbuatan mempermalukan di depan umum;

j. pemerasan; dan/atau

k. perbuatan lain yang sejenis.

 

Pasal 9 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP menyatakan bahwa Perundungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c merupakan Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b dan/atau Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) yang dilakukan secara berulang karena ketimpangan relasi kuasa.

 

Pasal 10 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP menyatakan bahwa

(1) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.

(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;

b. perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja;

c. penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;

d. perbuatan menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat Korban merasa tidak nyaman;

e. pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban;

f. perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual;

g. perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual;

h. penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual;

i. perbuatan mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;

j. perbuatan membujuk, menjanjikan, atau menawarkan sesuatu Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;

k. pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;

l. perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban;

m. perbuatan membuka pakaian Korban;

n. pemaksaan terhadap Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;

o. praktik budaya komunitas Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;

p. percobaan perkosaan walaupun penetrasi tidak terjadi;

q. perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;

r. pemaksaan atau perbuatan memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;

s. pemaksaan atau perbuatan memperdayai Korban untuk hamil;

t. pembiaran terjadinya Kekerasan seksual dengan sengaja;

u. pemaksaan sterilisasi;

v. penyiksaan seksual;

w. eksploitasi seksual;

x. perbudakan seksual;

y. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; dan/atau

z. perbuatan lain yang dinyatakan sebagai Kekerasan seksual dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.

(3) Dalam hal Korban merupakan Peserta Didik berusia anak atau penyandang disabilitas, Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan atau tanpa persetujuan Korban.

(4) Dalam hal Korban sebagai Pendidik, Tenaga Kependidikan, atau orang dewasa lainnya, perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m merupakan Kekerasan seksual jika dilakukan tanpa persetujuan Korban.

(5) Tanpa persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak berlaku bagi Korban sebagai Pendidik, Tenaga Kependidikan, atau orang dewasa lainnya yang dalam kondisi:

a. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;

b. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat- obatan, alkohol, dan/atau narkoba;

c. mengalami sakit, tidak sadar, tidak berdaya, atau tertidur;

d. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;

e. mengalami kelumpuhan atau hambatan motorik sementara (tonic immobility); dan/atau

f. mengalami kondisi terguncang.

 

Pasal 11

(1) Diskriminasi dan intoleransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e merupakan setiap perbuatan Kekerasan dalam bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan suku/etnis, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kebangsaaan, jenis kelamin, dan/atau kemampuan intelektual, mental, sensorik, serta fisik.

(2) Bentuk tindakan diskriminasi dan intoleransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. larangan untuk:

1. menggunakan seragam/pakaian kerja bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai pengaturan seragam sekolah maupun seragam Pendidik dan Tenaga Kependidikan;

2. mengikuti mata pelajaran agama/kepercayaan yang diajar oleh Pendidik sesuai dengan agama/kepercayaan Peserta Didik yang diakui oleh Pemerintah; dan/atau

3. mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan yang sesuai keyakinan agama atau kepercayaan yang dianut oleh Peserta Didik, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan;

b. pemaksaan untuk:

1. menggunakan seragam/pakaian kerja bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan seragam sekolah;

2. mengikuti mata pelajaran agama/kepercayaan yang diajar oleh Pendidik yang tidak sesuai dengan agama/kepercayaan Peserta Didik yang diakui oleh Pemerintah; dan/atau

3. mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan yang tidak sesuai keyakinan agama atau kepercayaan yang dianut oleh Peserta Didik, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan;

c. mengistimewakan calon pemimpin/pengurus organisasi berdasarkan latar belakang identitas tertentu di satuan pendidikan;

d. larangan atau pemaksaan kepada Peserta Didik, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan untuk:

1. mengikuti atau tidak mengikuti perayaan hari besar keagamaan yang dilaksanakan di satuan pendidikan yang berbeda dengan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan yang diyakininya; dan

2. memberikan donasi/bantuan dengan alasan latar belakang suku/etnis, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kebangsaaan, jenis kelamin, dan/atau kemampuan intelektual, mental, sensorik, serta fisik;

e. perbuatan mengurangi, menghalangi, atau tidak memberikan hak atau kebutuhan Peserta Didik, untuk:

1. mengikuti proses penerimaan Peserta Didik;

2. menggunakan sarana dan prasarana belajar dan/atau akomodasi yang layak;

3. menerima bantuan pendidikan atau beasiswa yang menjadi hak Peserta Didik;

4. memiliki kesempatan dalam mengikuti kompetisi;

5. memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya;

6. memperoleh hasil penilaian pembelajaran;

7. naik kelas;

8. lulus dari satuan pendidikan;

9. mengikuti bimbingan dan konsultasi;

10. memperoleh dokumen pendidikan yang menjadi hak Peserta Didik;

11. memperoleh bentuk layanan pendidikan lainnya yang menjadi hak Peserta Didik;

12. menunjukkan/menampilkan ekspresi terhadap seni dan budaya yang diminati; dan/atau

13. mengembangkan bakat dan minat Peserta Didik sesuai dengan sumber daya atau kemampuan yang dimiliki oleh satuan pendidikan;

f. perbuatan mengurangi, menghalangi, atau membedakan hak dan/atau kewajiban Pendidik atau Tenaga Kependidikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

g. perbuatan diskriminasi dan intoleransi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

 

Pasal 12

Pemaksaan atas perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b angka 2 dan angka 3, serta huruf d, termasuk perbuatan meminta atau mengimbau karena ada ketimpangan relasi kuasa, superioritas, atau senioritas.

 

Pasal 13

(1) Kebijakan yang mengandung Kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f merupakan kebijakan yang berpotensi atau menimbulkan terjadinya Kekerasan yang dilakukan oleh Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, kepala satuan pendidikan, dan/atau kepala Dinas Pendidikan.

(2) Kebijakan yang mengandung Kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat 1 meliputi kebijakan tertulis maupun tidak tertulis.

(3) Kebijakan tertulis meliputi surat keputusan, surat edaran, nota dinas, pedoman, dan/atau bentuk kebijakan tertulis lainnya.

(4) Kebijakan tidak tertulis dapat berupa himbauan, instruksi, dan/atau bentuk tindakan lainnya.

 

BAB III

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN

 

Bagian Kesatu Umum

 

Pasal 14

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan meliputi:

a. penguatan tata kelola;

b. edukasi; dan

c. penyediaan sarana dan prasarana.

 

Bagian Kedua Penguatan Tata Kelola

 

Paragraf 1 Satuan Pendidikan

 

Pasal 15

(1) Satuan pendidikan melakukan penguatan tata kelola dengan cara:

a. menyusun dan melaksanakan tata tertib dan program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

b. menjalankan kebijakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang ditetapkan oleh Kementerian dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan;

c. merencanakan dan melaksanakan program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

d. menerapkan pembelajaran tanpa Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

e. membentuk TPPK di lingkungan satuan pendidikan;

f. memfasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi TPPK;

g. melakukan kerja sama dengan instansi atau lembaga terkait dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

h. memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau bantuan operasional sekolah untuk kegiatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

i. menyediakan pendanaan untuk kegiatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat; dan

j. melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

(2) Satuan pendidikan dapat melibatkan Warga Satuan Pendidikan dalam penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Paragraf 2 Pemerintah Daerah

 

Pasal 16

(1) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan melakukan penguatan tata kelola dengan cara:

a. menyusun dan menetapkan peraturan kepala daerah yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

b. mengintegrasikan program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan ke dalam agenda prioritas kebijakan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan;

c. mengalokasikan anggaran pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan;

d. memfasilitasi dan membina satuan pendidikan dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

e. membentuk Satuan Tugas;

f. melakukan koordinasi lintas sektor dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sesuai dengan kewenangan;

g. melakukan pemantauan dan evaluasi minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun terhadap pelaksanaan pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan

h. melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi di lingkungan satuan pendidikan dalam hal diminta Kementerian.

(2) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan dapat melibatkan Masyarakat dalam penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Paragraf 3 Kementerian

 

Pasal 17

Kementerian melakukan penguatan tata kelola dengan cara:

a. menyusun dan menetapkan kebijakan, prosedur operasional standar, pedoman, modul, dan program yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan;

b. mengalokasikan anggaran pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

c. melakukan koordinasi lintas sektor dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan

d. melaksanakan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan kebijakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan secara nasional.

 

Bagian Ketiga Edukasi

 

Paragraf 1 Satuan Pendidikan

 

Pasal 18

(1) Satuan pendidikan melakukan edukasi dengan cara:

a. melakukan sosialisasi tata tertib dan program dalam rangka Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan kepada seluruh Warga Satuan Pendidikan dan orang tua/wali Peserta Didik termasuk bagi penyandang disabilitas; dan

b. melaksanakan penguatan karakter melalui implementasi nilai Pancasila dan menumbuhkan budaya pendidikan tanpa Kekerasan kepada seluruh Warga Satuan Pendidikan.

(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan pada:

a. kegiatan pengenalan lingkungan satuan pendidikan bagi Peserta Didik baru; dan

b. kegiatan lainnya di satuan pendidikan.

(3) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui media elektronik dan/atau nonelektronik.

 

Paragraf 2 Pemerintah Daerah

 

Pasal 19

(1) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan melakukan edukasi dengan cara:

a. melakukan sosialisasi kebijakan dan program terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan kepada satuan pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya termasuk bagi penyandang disabilitas; dan

b. menyelenggarakan pelatihan bagi TPPK dan Satuan Tugas dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

(3) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui media elektronik dan/atau nonelektronik.

(4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

(5) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan menggunakan modul pelatihan dari Kementerian dan/atau bahan pelatihan lainnya yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga yang menyelenggarakan fungsi perlindungan anak dan perempuan.

 

Paragraf 3 Kementerian

 

Pasal 20

(1) Kementerian melakukan edukasi dengan cara:

a. melakukan sosialisasi kebijakan, pedoman, modul, dan program kepada pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, satuan pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya mengenai kebijakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan

b. memberikan pelatihan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan dapat melibatkan Masyarakat.

 

Bagian Keempat Penyediaan Sarana dan Prasarana

 

Paragraf 1 Satuan Pendidikan

 

Pasal 21

(1) Satuan pendidikan melakukan penyediaan sarana dan prasarana dengan cara memastikan tersedianya sarana dan prasarana untuk:

a. pelaksanaan tugas TPPK minimal berupa kanal pelaporan, ruang pemeriksaan, dan alat tulis kantor;

b. keamanan proses pembelajaran;

c. keamanan pada ruang publik seperti toilet, kantin, laboratorium;

d. pelaksanaan kegiatan edukasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan; dan

e. keamanan dan kenyamanan fasilitas lainnya di lingkungan satuan pendidikan.

(2) Satuan pendidikan memastikan tingkat keamanan dan kenyamanan bangunan, fasilitas pembelajaran, dan fasilitas umum lainnya, termasuk penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.

 

Paragraf 2 Pemerintah Daerah

 

Pasal 22

(1) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan melakukan penyediaan sarana dan prasarana dengan cara:

a. menyediakan bangunan, gedung, dan fasilitas pembelajaran yang ramah bagi Peserta Didik penyandang disabilitas;

b. menyediakan sarana untuk pelaksanaan tugas Satuan Tugas minimal berupa kanal pelaporan, ruang pemeriksaan, dan alat tulis kantor; dan

c. menyediakan sarana untuk pelaksanaan kegiatan edukasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan.

(2) Pemerintah daerah memastikan tingkat keamanan dan kenyamanan bangunan, fasilitas pembelajaran, dan fasilitas umum lainnya, termasuk penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.

 

Paragraf 3 Kementerian

 

Pasal 23

(1) Kementerian melakukan penyediaan sarana dan prasarana dengan cara:

a. memfasilitasi sistem informasi atas pengelolaan data Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan

b. menyediakan layanan pelaporan Kementerian atas kasus Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

(2) Penyediaan sarana dan prasarana oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, dan Kementerian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

BAB IV

TIM PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN DAN SATUAN TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN

 

Bagian Kesatu

Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan

 

Pasal 24

(1) Satuan pendidikan membentuk TPPK.

(2) TPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan.

(3) Dalam hal satuan pendidikan anak usia dini tidak dapat membentuk TPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikarenakan sumber daya manusia tidak memadai, tugas dan wewenang TPPK dilaksanakan oleh beberapa satuan pendidikan anak usia dini yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan.

 

Pasal 25

(1) TPPK mempunyai tugas melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TPPK memiliki fungsi:

a. menyampaikan usulan/rekomendasi program Pencegahan Kekerasan kepada kepala satuan pendidikan;

b. memberikan masukan/saran kepada kepala satuan pendidikan mengenai fasilitas yang aman dan nyaman di satuan pendidikan;

c. melaksanakan sosialisasi kebijakan dan program terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan bersama dengan satuan pendidikan;

d. menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan Kekerasan;

e. melakukan Penanganan terhadap temuan adanya dugaan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

f. menyampaikan pemberitahuan kepada orang tua/wali dari Peserta Didik yang terlibat Kekerasan;

g. memeriksa laporan dugaan Kekerasan;

h. memberikan rekomendasi sanksi kepada kepala satuan pendidikan berdasarkan hasil pemeriksaan;

i. mendampingi Korban dan/atau Pelapor Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

j. memfasilitasi pendampingan oleh ahli atau layanan lainnya yang dibutuhkan Korban, Pelapor, dan/atau Saksi;

k. memberikan rujukan bagi Korban ke layanan sesuai dengan kebutuhan Korban Kekerasan;

l. memberikan rekomendasi pendidikan anak dalam hal Peserta Didik yang terlibat Kekerasan merupakan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; dan

m. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Kepala Dinas Pendidikan melalui kepala satuan pendidikan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), TPPK berwenang:

a. memanggil dan meminta keterangan Pelapor, Korban, Saksi, Terlapor, orang tua/wali, pendamping, dan/atau ahli;

b. berkoordinasi dengan pihak terkait dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan; dan

c. berkoordinasi dengan satuan pendidikan lain terkait laporan Kekerasan yang melibatkan Korban, Saksi, Pelapor, dan/atau Terlapor dari satuan pendidikan yang bersangkutan.

 

Pasal 26

(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, TPPK bertanggung jawab kepada kepala satuan pendidikan.

(2) TPPK di satuan pendidikan anak usia dini yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), bertanggung jawab kepada kepala Dinas Pendidikan.

 

Pasal 27

(1) Keanggotaan TPPK berjumlah gasal dan minimal 3 (tiga) orang.

(2) Keanggotaan TPPK terdiri atas perwakilan:

a. Pendidik yang tidak ditugaskan sebagai kepala satuan pendidikan; dan

b. Komite Sekolah atau perwakilan orang tua/wali.

(3) Dalam hal diperlukan, keanggotaan TPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditambahkan tenaga administrasi yang berasal dari perwakilan Tenaga Kependidikan.

(4) Dalam hal tidak terdapat Komite Sekolah pada satuan pendidikan nonformal, TPPK beranggotakan Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.

(5) Keanggotaan TPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipersyaratkan:

a. tidak pernah terbukti melakukan Kekerasan;

b. tidak pernah terbukti dijatuhi hukuman pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang telah berkekuatan hukum tetap; dan/atau

c. tidak pernah dan/atau tidak sedang menjalani hukuman disiplin pegawai tingkat sedang atau berat.

(6) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani dan dibubuhi materai.

(7) Dalam hal calon anggota TPPK memberikan pernyataan yang tidak sesuai, dapat dilakukan tindakan hukum.

(8) TPPK dipimpin oleh koordinator yang berasal dari unsur Pendidik.

(9) Masa tugas TPPK selama 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali.

 

Pasal 28 Keanggotaan TPPK berakhir karena:

a. berakhirnya masa tugas;

b. meninggal dunia;

c. mengundurkan diri;

d. tidak lagi memenuhi unsur keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2);

e. terbukti melakukan Kekerasan berdasarkan hasil identifikasi kasus Kekerasan yang dilakukan oleh Satuan Tugas;

f. menjadi tersangka tindak pidana kecuali tindak pidana ringan;

g. berhalangan tetap yang mengakibatkan tidak dapat melaksanakan tugas; atau

h. pindah tugas atau mutasi.

 

Pasal 29

Kepala satuan pendidikan atau kepala Dinas Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) sesuai kewenangan melakukan evaluasi kinerja TPPK minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

 

Bagian Kedua

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan

 

Pasal 30

(1) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan membentuk Satuan Tugas.

(2) Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala daerah atas usulan kepala Dinas Pendidikan.

 

Pasal 31

(1) Satuan Tugas mempunyai tugas pelaksanaan pembinaan, pemantauan, dan pengawasan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada satuan pendidikan di wilayah sesuai kewenangan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Tugas memiliki fungsi:

a. melakukan Pencegahan dan Penanganan kasus Kekerasan pada satuan pendidikan di wilayah sesuai kewenangannya;

b. membina, mendampingi, dan mengawasi TPPK;

c. memfasilitasi TPPK untuk berkoordinasi dengan:

1. dinas terkait;

2. lembaga layanan;

3. ahli; atau

4. pihak terkait,

yang dibutuhkan dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

d. memastikan pemenuhan hak pendidikan atas Peserta Didik yang terlibat Kekerasan dalam wilayah kerja Satuan Tugas, berupa:

1. pemberian jaminan layanan pendidikan bagi Peserta Didik; dan

2. koordinasi dengan pihak terkait dalam penyediaan akses layanan pendidikan.

e. memfasilitasi pemenuhan hak pendidikan atas anak yang berhadapan dengan hukum, berupa:

1. pemberian rekomendasi layanan pendidikan anak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum kepada aparat penegak hukum;

2. pemetaan sumber daya untuk mendukung pendidikan anak selama menjalani proses peradilan atau selama menjalani putusan/penetapan pengadilan; dan

3. koordinasi dengan pihak terkait dalam penyediaan akses layanan pendidikan.

f. melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan

g. melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi kepada Dinas Pendidikan setiap 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Tugas dapat berkoordinasi dengan:

a. dinas kesehatan atau dinas terkait lainnya;

b. psikolog, dokter, atau tenaga kesehatan lainnya;

c. pekerja sosial;

d. unit pelaksana teknis Kementerian pada daerah setempat;

e. perwakilan organisasi Masyarakat sipil atau praktisi yang berfokus pada bidang pendidikan dan/atau bidang Penanganan Kekerasan; dan/atau

f. pihak lain yang diperlukan dalam Penanganan Kekerasan.

 

Pasal 32

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Satuan Tugas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui kepala Dinas Pendidikan.

 

Pasal 33

(1) Keanggotaan Satuan Tugas berjumlah gasal dan minimal 5 (lima) orang.

(2) Keanggotaan Satuan Tugas terdiri atas unsur:

a. perwakilan Dinas Pendidikan sesuai dengan kewenangan;

b. perwakilan dinas yang menyelenggarakan fungsi bidang perlindungan anak;

c. perwakilan dinas yang menyelenggarakan fungsi bidang sosial; dan

d. organisasi atau bidang profesi yang terkait dengan anak.

(3) Keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipersyaratkan:

a. tidak pernah terbukti melakukan Kekerasan;

b. tidak pernah terbukti dijatuhi hukuman pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih yang telah berkekuatan hukum tetap; dan/atau

c. tidak pernah dan/atau tidak sedang menjalani hukuman disiplin pegawai tingkat sedang atau berat.

(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani dan dibubuhi materai.

(5) Satuan Tugas dipimpin oleh koordinator yang berasal dari unsur perwakilan Dinas Pendidikan.

(6) Masa tugas Satuan Tugas selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.

 

Pasal 34 Keanggotaan Satuan Tugas berakhir karena:

a. berakhirnya masa tugas;

b. meninggal dunia;

c. mengundurkan diri;

d. tidak lagi memenuhi syarat keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2);

e. terbukti melakukan Kekerasan berdasarkan pemeriksaan kasus Kekerasan yang dilakukan Satuan Tugas;

f. menjadi tersangka tindak pidana kecuali tindak pidana ringan;

g. berhalangan tetap yang mengakibatkan tidak dapat melaksanakan tugas; atau

h. pindah tugas atau mutasi.

 

Pasal 35

Kepala Daerah melakukan evaluasi kinerja Satuan Tugas minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

 

Bagian Ketiga

Sanksi bagi Kepala Satuan Pendidikan, TPPK, dan Satuan Tugas

 

Pasal 36

(1) Dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, kepala satuan pendidikan, dan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat dilarang:

a. melakukan pembiaran terjadinya Kekerasan yang mengakibatkan:

1. luka fisik berat;

2. kerusakan fisik permanen;

3. kematian; dan/atau

4. trauma psikologis berat;

b. tidak menindaklanjuti laporan dugaan terjadinya Kekerasan kepada TPPK atau Satuan Tugas;

c. melakukan penyebaran identitas Korban, Saksi, Terlapor, maupun pihak terkait dan informasi kasus berjalan kepada publik; dan/atau

d. berpihak kepada Terlapor/pelaku.

(2) Dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, TPPK dilarang:

a. melakukan pembiaran terjadinya Kekerasan yang mengakibatkan:

1. luka fisik berat;

2. kerusakan fisik permanen;

3. kematian; dan/atau

4. trauma psikologis berat; dan/atau

b. melakukan penyebaran identitas Korban, Saksi, Terlapor, maupun pihak terkait dan informasi kasus berjalan kepada publik.

(3) Dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, Satuan Tugas dilarang:

a. melakukan pembiaran terjadinya Kekerasan yang mengakibatkan:

1. luka fisik berat;

2. kerusakan fisik permanen;

3. kematian; dan/atau

4. trauma psikologis berat; dan/atau

b. melakukan penyebaran identitas Korban, Saksi, Terlapor, maupun pihak terkait dan informasi kasus berjalan kepada publik.

 

Pasal 37

(1) TPPK yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) diberikan sanksi oleh kepala satuan pendidikan.

(2) Kepala satuan pendidikan, penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat, dan Satuan Tugas yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) diberikan sanksi oleh Kepala Dinas Pendidikan.

(3) Kepala satuan pendidikan, TPPK dan Satuan Tugas yang berstatus ASN yang melanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:

a. teguran tertulis;

b. pernyataan permohonan maaf tertulis yang disampaikan melalui papan pengumuman di satuan pendidikan dan/atau media massa;

c. pemberhentian dari jabatan keanggotaan TPPK atau keanggotaan Satuan Tugas; dan/atau

d. penutupan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat.

 

Pasal 38

(1) Dalam hal Pelaku Kekerasan merupakan bagian dari penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat, diberikan sanksi tambahan berupa penutupan satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal Pelaku Kekerasan merupakan bagian dari penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tidak diperbolehkan menyelenggarakan atau mengelola satuan pendidikan.

(3) Dalam hal dilakukan penutupan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas Pendidikan harus memfasilitasi pengalihan Peserta Didik ke satuan pendidikan lainnya.

 

BAB V

TATA CARA PENANGANAN KEKERASAN

 

Bagian Kesatu Umum

 

Pasal 39

(1) Penanganan Kekerasan dilakukan oleh:

a. satuan pendidikan;

b. pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan; dan

c. Kementerian.

(2) Penanganan Kekerasan oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. penerimaan laporan;

b. pemeriksaan;

c. penyusunan kesimpulan dan rekomendasi;

d. tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan; dan

e. pemulihan.

(3) Penanganan Kekerasan oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan dapat dilakukan tanpa melalui tahapan penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dalam hal adanya temuan dugaan Kekerasan.

 

Pasal 40

(1) Penanganan Kekerasan oleh satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh TPPK.

(2) Dalam hal TPPK tidak melaksanakan Penanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Tugas memberi peringatan kepada TPPK pada satuan pendidikan untuk melaksanakan Penanganan dugaan Kekerasan.

(3) Dalam hal TPPK telah diberi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun masih belum melaksanakan Penanganan dugaan Kekerasan, Penanganan Kekerasan dilaksanakan oleh Satuan Tugas.

 

Pasal 41

Penanganan Kekerasan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh Satuan Tugas dalam hal:

a. Terlapor merupakan kepala satuan pendidikan;

b. Kekerasan melibatkan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan;

c. Kekerasan melibatkan anggota TPPK; dan/atau

d. TPPK tidak melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini, dengan mengikuti tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2).

 

Pasal 42

(1) Penanganan Kekerasan oleh Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri untuk melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di bidang pendidikan.

(2) Penanganan Kekerasan oleh Kementerian dilakukan dalam hal Satuan Tugas tidak melaksanakan Penanganan kasus Kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.

(3) Kementerian melaksanakan Penanganan Kekerasan dengan mendorong Dinas Pendidikan untuk memastikan Satuan Tugas agar melakukan Penanganan Kekerasan.

(4) Dalam hal Satuan Tugas tidak melaksanakan Penanganan Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kementerian dapat merekomendasikan sanksi kepada Dinas Pendidikan atau kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 43

(1) Penanganan Kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 42, dilaksanakan dengan menjamin Peserta Didik baik sebagai Terlapor, Pelaku, Saksi, atau Korban memperoleh layanan pendidikan.

(2) Jaminan layanan pendidikan bagi Peserta Didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. keberlanjutan pendidikan; dan/atau

b. rekomendasi bentuk layanan pendidikan.

(3) Jaminan layanan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk Peserta Didik usia anak yang berhadapan dengan hukum.

 

Pasal 44

(1) Dalam melaksanakan Penanganan Kekerasan, satuan pendidikan, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, atau Kementerian dapat memberikan pendampingan.

(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Korban, Saksi, Terlapor berusia anak, atau pelaku berusia anak, yang berstatus Peserta Didik; dan

b. Korban atau Saksi yang berstatus Pendidik atau Tenaga Kependidikan.

(3) Pemberian pendampingan difasilitasi oleh TPPK melalui koordinasi dengan Satuan Tugas dengan menggunakan layanan yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

(4) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. konseling;

b. layanan kesehatan;

c. bantuan hukum;

d. advokasi;

e. bimbingan sosial dan rohani; dan/atau

f. layanan pendampingan lain.

(5) Dalam hal Korban atau Saksi merupakan penyandang disabilitas, pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan ragam penyandang disabilitas.

(6) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan persetujuan Korban, Saksi, Terlapor berusia anak, atau pelaku berusia anak, yang berstatus Peserta Didik.

(7) Dalam hal Korban, Saksi, Terlapor, atau pelaku berusia anak, persetujuan dapat diberikan oleh orang tua/wali Korban atau pendamping.

 

Bagian Kedua Penerimaan Laporan

 

Pasal 45

(1) Pelapor dapat melaporkan dugaan Kekerasan kepada:

a. TPPK;

b. Satuan Tugas;

c. pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan; dan/atau

d. Kementerian.

(2) Laporan dugaan Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara:

a. langsung;

b. tidak langsung, melalui kanal pelaporan yang disediakan dalam bentuk:

1. surat tertulis;

2. telepon;

3. pesan singkat elektronik;

4. surat elektronik; dan/atau

c. bentuk penyampaian laporan lain yang memudahkan Pelapor.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak harus disertai dengan bukti awal.

 

Pasal 46

Dalam menindaklanjuti laporan, TPPK atau Satuan Tugas melakukan tindakan awal terhadap Korban atau Saksi yang dapat berupa:

a. memfasilitasi keamanan Korban dan Saksi;

b. memfasilitasi bantuan pendampingan psikis; dan/atau

c. memfasilitasi keberlanjutan hak pendidikan atau pekerjaan Korban dan Saksi.

 

Bagian Ketiga Pemeriksaan

 

Pasal 47

(1) TPPK atau Satuan Tugas menyampaikan panggilan kepada Pelapor/Korban, Saksi, dan Terlapor melalui:

a. surat panggilan secara tertulis; dan/atau

b. panggilan secara lisan.

(2) Dalam hal Pelapor, Korban, dan/atau Saksi merupakan Peserta Didik anak, panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada orang tua/wali Peserta Didik.

(3) Dalam hal Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir sampai panggilan ketiga, pemeriksaan dilanjutkan tanpa kehadiran Terlapor.

 

Pasal 48

(1) TPPK atau Satuan Tugas melakukan pemeriksaan atas laporan dugaan Kekerasan.

(2) Dalam pemeriksaan laporan dugaan Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TPPK atau Satuan Tugas merahasiakan identitas Korban, Saksi, dan Peserta Didik Terlapor sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 49

(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) bertujuan untuk mengumpulkan:

a. keterangan dari Pelapor/Korban, Saksi, dan/atau Terlapor; dan/atau

b. bukti lain yang diperlukan.

(2) Dalam hal Korban, Saksi, dan/atau Pelapor merupakan Peserta Didik berusia anak, TPPK atau Satuan Tugas memastikan Peserta Didik berusia anak didampingi oleh orang tua/wali.

(3) Dalam hal Korban, Saksi, dan/atau Terlapor merupakan penyandang disabilitas, TPPK atau Satuan Tugas menghadirkan orang tua/wali dan/atau menyediakan pendamping dengan memperhatikan ragam penyandang disabilitas dalam proses pemeriksaan permintaan keterangan.

(4) Pemeriksaan terhadap Pelapor/Korban, Saksi, dan/atau Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara.

 

Pasal 50

(1) Jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diselesaikan maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak permintaan keterangan dari Pelapor/Korban.

(3) Dalam hal pemeriksaan tidak selesai dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TPPK atau Satuan Tugas harus membuat pernyataan pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan.

 

Pasal 51

(1) TPPK atau Satuan Tugas dapat menyatakan pemeriksaan dihentikan dalam hal:

a. Terlapor meninggal dunia/tidak ditemukan/sakit berat berdasarkan keterangan dokter;

b. Korban tidak ditemukan; dan/atau

c. pembuktian belum cukup.

(2) Penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh ketua TPPK atau ketua Satuan Tugas dan disampaikan kepada:

a. kepala satuan pendidikan;

b. kepala Dinas Pendidikan;

c. Terlapor; dan

d. Pelapor/Korban.

 

Pasal 52

TPPK atau Satuan Tugas dapat melanjutkan kembali pemeriksaan laporan Kekerasan yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 apabila ditemukan bukti baru.

 

Bagian Keempat

Penyusunan Kesimpulan dan Rekomendasi

 

Pasal 53

(1) TPPK atau Satuan Tugas menyusun kesimpulan dan rekomendasi sebagai bagian dari laporan hasil pemeriksaan.

(2) Kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi:

a. terbukti adanya Kekerasan; atau

b. tidak terbukti adanya Kekerasan.

(3) Kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat informasi:

a. identitas Terlapor;

b. bentuk Kekerasan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini; dan

c. pernyataan terbukti atau tidak terbukti adanya Kekerasan.

(4) Dalam hal dinyatakan terbukti adanya Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, rekomendasi memuat:

a. sanksi administratif kepada pelaku;

b. pemulihan Korban/Pelapor dan/atau Saksi dalam hal belum dilakukan atau sepanjang masih dibutuhkan; dan

c. tindak lanjut keberlanjutan layanan pendidikan.

(5) Dalam hal dinyatakan tidak terbukti adanya Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, rekomendasi memuat:

a. tindak lanjut keberlanjutan layanan pendidikan; dan

b. pemulihan nama baik Terlapor.

 

Pasal 54

TPPK atau Satuan Tugas menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) kepada kepala satuan pendidikan atau kepala Dinas Pendidikan sesuai dengan kewenangan.

 

Bagian Kelima

Tindak Lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan

 

Pasal 55

Kepala satuan pendidikan atau kepala Dinas Pendidikan menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 maksimal 5 (lima) hari kerja dengan menerbitkan keputusan.

 

Pasal 56

(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 memuat:

a. pengenaan sanksi administratif terhadap Terlapor dalam hal keputusan menetapkan terbukti adanya Kekerasan; atau

b. pemulihan nama baik Terlapor dalam hal keputusan menetapkan tidak terbukti adanya Kekerasan.

(2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:

a. Terlapor;

b. Dinas Pendidikan, dalam hal keputusan ditandatangani oleh kepala satuan pendidikan; dan

c. satuan pendidikan, dalam hal keputusan ditandatangani oleh kepala dinas.

(3) Dalam hal Terlapor merupakan Peserta Didik, salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada orang tua/wali Peserta Didik.

 

Pasal 57

(1) Tingkat sanksi administratif bagi Terlapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a terdiri atas:

a. ringan;

b. sedang; dan

c. berat.

(2) Dalam hal Terlapor merupakan Peserta Didik, pengenaan tingkat sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip pada:

a. sanksi bersifat mendidik;

b. tetap memenuhi hak pendidikan Peserta Didik;

c. melindungi kondisi psikis Peserta Didik;

d. membangun rasa bertanggung jawab Peserta Didik; dan

e. berpedoman pada ketentuan mengenai perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 58

Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan ASN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 59

(1) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan non ASN, terdiri atas:

a. teguran tertulis; atau

b. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di media publikasi yang dimiliki satuan pendidikan.

(2) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan non ASN, terdiri atas:

a. pengurangan hak; atau

b. pemberhentian sementara dari jabatan sebagai Pendidik/Tenaga Kependidikan.

(3) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan non ASN berupa pemutusan/pemberhentian hubungan kerja.

(4) Pengenaan sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan:

a. terbukti melakukan Kekerasan dan/atau melakukan pembiaran terjadinya Kekerasan yang mengakibatkan:

1. luka fisik berat;

2. kerusakan fisik permanen;

3. kematian; dan/atau

4. trauma psikologis berat; dan/atau

b. terbukti melakukan Kekerasan minimal 3 (tiga) kali dalam masa jabatannya yang mengakibatkan luka fisik ringan atau dampak psikologis ringan.

(5) Mekanisme pengenaan sanksi administratif bagi Terlapor Pendidik dan Tenaga Kependidikan non ASN diatur lebih lanjut dalam peraturan penyelenggara satuan pendidikan.

 

Pasal 60

(1) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a bagi Terlapor Peserta Didik berupa teguran tertulis.

(2) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b bagi Terlapor Peserta Didik berupa tindakan yang bersifat edukatif yang harus dilakukan dalam kurun waktu minimal selama 5 (lima) hari sekolah dan maksimal selama 10 (sepuluh) hari sekolah.

(3) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c bagi Terlapor Peserta Didik berupa pemindahan Peserta Didik ke satuan pendidikan lain.

(4) Pengenaan sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya terakhir yang hanya dilakukan apabila:

a. tindakan Kekerasan yang dilakukan oleh Peserta Didik mengakibatkan Korban mengalami:

1. luka fisik berat;

2. kerusakan fisik permanen;

3. kematian; dan/atau

4. trauma psikologis berat, dan

b. terdapat rekomendasi dari Satuan Tugas dan/atau Dinas Pendidikan.

(5) Dinas Pendidikan memfasilitasi pemindahan Peserta Didik ke satuan pendidikan baru dalam pemberian sanksi berat sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

 

Pasal 61

(1) Peserta Didik yang dikenakan sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) harus mengikuti program konseling sebelum memulai proses pembelajaran di satuan pendidikan baru.

(2) Program konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada lembaga atau perangkat daerah yang memiliki kewenangan dalam bidang kesehatan, sosial, dan/atau perlindungan perempuan dan anak yang ditunjuk oleh Satuan Tugas.

(3) Pembiayaan program konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

(4) Selama mengikuti program konseling, Peserta Didik dapat mengikuti pembelajaran baik secara luring atau daring selama atau setelah selesai konseling.

(5) Lembaga atau perangkat daerah melaporkan pelaksanaan konseling secara berkala kepada Satuan Tugas.

(6) Satuan Tugas memberikan laporan hasil program konseling kepada Dinas Pendidikan untuk menilai kesiapan Peserta Didik mengikuti proses pembelajaran di satuan pendidikan baru.

 

Pasal 62

(1) Satuan Tugas dan TPPK mendampingi proses reintegrasi Peserta Didik di lingkungan satuan pendidikan baru.

(2) Satuan Tugas melaporkan perkembangan pendampingan dan proses reintegrasi Peserta Didik kepada Dinas Pendidikan minimal 30 (tiga puluh) hari kerja setelah Peserta Didik memulai proses pembelajaran di lingkungan satuan pendidikan baru.

(3) Satuan Tugas dan Dinas Pendidikan menjamin Peserta Didik dapat mengikuti pembelajaran dengan nyaman dan aman pada satuan pendidikan baru.

 

Pasal 63

(1) Pemberian rekomendasi sanksi administratif atau pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 mempertimbangkan hal yang meringankan atau hal yang memberatkan.

(2) Hal yang meringankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:

a. Korban mengalami dampak fisik berupa luka yang ringan dan/atau dampak psikis yang ringan;

b. Korban bersedia memaafkan perbuatan pelaku tanpa tekanan dari siapapun;

c. pelaku bersedia atau telah membiayai pengobatan atas kondisi Korban;

d. pelaku merupakan Peserta Didik penyandang disabilitas; dan/atau

e. pelaku berusia anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Hal yang memberatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:

a. Korban mengalami dampak fisik dan/atau psikis yang sedang atau berat;

b. pelaku telah melakukan tindakan Kekerasan lebih dari 1 (satu) kali;

c. jumlah Korban lebih dari 1 (satu) orang;

d. Korban merupakan penyandang disabilitas; dan/atau

e. pelaku merupakan anggota TPPK, Satuan Tugas, kepala satuan pendidikan, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan lainnya di satuan pendidikan.

 

 

Pasal 64

Pemberian sanksi administratif yang diatur dalam peraturan ini tidak menyampingkan pengenaan sanksi administratif lain dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 65

(1) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dianggap tidak adil, Korban atau pelaku dapat mengajukan keberatan.

(2) Pengajuan keberatan oleh Korban atau pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:

a. Satuan Tugas atas putusan yang dikeluarkan oleh TPPK; atau

b. pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan atas putusan yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas.

(3) Dalam melakukan pemeriksaan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terhadap kepala satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Masyarakat, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan melibatkan pengurus penyelenggara satuan pendidikan yang mendirikan satuan pendidikan bersangkutan.

 

Pasal 66

(1) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diajukan oleh Korban atau pelaku maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diterima.

(2) Dalam hal pelaku merupakan Pendidik atau Tenaga Kependidikan ASN, pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

 

Pasal 67

(1) Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan menindaklanjuti pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dengan melakukan evaluasi terhadap:

a. putusan yang dikeluarkan oleh TPPK; atau

b. putusan yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas.

(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemeriksaan terhadap putusan dan dokumen pendukung.

(3) Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai kewenangan dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat meminta keterangan dari pihak terkait atau meminta dokumen lain yang diperlukan.

(4) Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan:

a. menguatkan putusan TPPK atau Satuan Tugas;

b. mengubah putusan berupa:

1. meringankan sanksi; atau

2. memberatkan sanksi, atau

c. membatalkan putusan;

(5) Hasil evaluasi berupa pengubahan putusan atau pembatalan putusan TPPK atau Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c diberikan setelah dilakukan pemeriksaan ulang oleh Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

(6) Tindak lanjut terhadap Pembatalan putusan TPPK atau Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, dilakukan melalui:

a. pemulihan nama baik pelaku; atau

b. pengenaan sanksi administratif bagi Terlapor.

(7) Dalam hal terjadinya Kekerasan melalui kebijakan pendidikan, Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi merekomendasikan TPPK atau Satuan Tugas untuk mengubah putusan, dengan menyatakan pembatalan atau pencabutan kebijakan pendidikan yang:

a. mengandung unsur Kekerasan; atau

b. telah menimbulkan terjadinya Kekerasan.

(8) Putusan Satuan Tugas atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final.

 

Pasal 68

Putusan atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dijatuhkan maksimal 30 (tiga puluh) hari sejak pengajuan keberatan diterima.

 

Bagian Keenam Pemulihan

 

Pasal 69

(1) Pemulihan terhadap Korban, Saksi, dan/atau pelaku Peserta Didik berusia anak dapat dilakukan sejak pelaporan diterima oleh TPPK atau Satuan Tugas.

(2) TPPK atau Satuan Tugas melakukan identifikasi dampak psikis, fisik, proses pembelajaran, dan pekerjaan yang dialami Korban, Saksi, dan pelaku Peserta Didik berusia anak sejak tindakan Kekerasan diketahui atau dilaporkan.

(3) Identifikasi dampak yang dialami Korban, Saksi, dan pelaku Peserta Didik berusia anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menentukan layanan pemulihan yang dibutuhkan Korban, Saksi, dan pelaku Peserta Didik berusia anak.

(4) Dalam melakukan identifikasi dampak dan pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), TPPK atau Satuan Tugas dapat mengikutsertakan psikolog, tenaga medis, tenaga kesehatan, pekerja sosial, rohaniawan, dan/atau profesi lainnya sesuai kebutuhan.

(5) Layanan pemulihan terhadap Korban, Saksi, dan pelaku Peserta Didik berusia anak dilaksanakan oleh TPPK dan Satuan Tugas dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Ketentuan mengenai usia anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) dikecualikan bagi Korban, Saksi, dan/atau pelaku Peserta Didik penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual.

 

BAB VI

HAK KORBAN, PELAPOR, SAKSI, DAN PESERTA DIDIK SEBAGAI TERLAPOR DALAM PENANGANAN KEKERASAN

 

Pasal 70

(1) Korban dan Pelapor berhak atas:

a. informasi terhadap seluruh proses dan hasil Penanganan Kekerasan;

b. pelindungan dari ancaman atau Kekerasan Terlapor dan/atau pihak lain;

c. pelindungan atas potensi berulangnya Kekerasan;

d. pelindungan atas kerahasiaan identitas dan informasi kasus;

e. akses layanan pendidikan atau pelindungan dari kehilangan pekerjaan; dan

f. layanan pendampingan dan/atau pemulihan sesuai kebutuhannya.

(2) Saksi berhak atas:

a. pelindungan atas kerahasiaan identitas dan informasi kasus;

b. pelindungan dari ancaman atau Kekerasan Terlapor dan/atau pihak lain;

c. layanan pendampingan dan/atau pemulihan sesuai kebutuhannya; dan

d. akses layanan pendidikan atau pelindungan dari kehilangan pekerjaan.

(3) Peserta Didik sebagai Terlapor berhak atas:

a. pelindungan atas kerahasiaan identitas dan informasi kasus;

b. pelindungan dari ancaman atau Kekerasan;

c. akses layanan pendidikan; dan

d. layanan pendampingan dan/atau pemulihan sesuai kebutuhannya.

(4) Hak bagi Korban, Pelapor, Saksi, dan Peserta Didik sebagai Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang merupakan penyandang disabilitas, diberikan dengan memperhatikan ragam disabilitas.

(5) Pelindungan atas kerahasiaan identitas dan informasi kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) termasuk tidak melakukan penyebarluasan data atau identitas pribadi.

 

BAB VII PARTISIPASI MASYARAKAT

 

Pasal 71

(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

(2) Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan:

a. menyebarluaskan materi atau informasi mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

b. turut serta dalam program atau kegiatan Pencegahan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan; dan

c. melaporkan Kekerasan yang diketahui ke satuan pendidikan, TPPK, Satuan Tugas, atau pihak terkait lainnya;

d. memantau penyelenggaraan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

e. mendukung pelaksanaan pemenuhan hak dan pelindungan bagi Korban, Saksi, dan Pelapor;

f. mendukung pelaksanaan pelindungan bagi Terlapor berusia anak; dan

g. bentuk partisipasi lain yang mendukung penyelenggaraan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

 

BAB VIII

PENGELOLAAN DATA KASUS KEKERASAN

 

Pasal 72

(1) TPPK, Satuan Tugas, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, dan Kementerian melakukan pengelolaan data kasus Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sesuai dengan kewenangan.

(2) Pengelolaan data kasus Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:

a. menyediakan data kasus Kekerasan yang akurat dan tercatat dalam sistem informasi; dan/atau

b. mendukung pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

(3) Pengelolaan data kasus Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan memperhatikan pelindungan data pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(4) Pengelolaan data kasus Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dapat menggunakan sistem informasi.

(5) Hasil pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dimanfaatkan untuk pelaksanaan evaluasi dan/atau perubahan kebijakan mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

 

BAB IX PENGHARGAAN

 

Pasal 73

Menteri, gubernur, bupati, dan walikota sesuai dengan kewenangan dapat memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah, satuan pendidikan, TPPK, Satuan Tugas, dan Masyarakat yang berperan serta dalam upaya penyelenggaraan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

 

 

BAB X PETUNJUK TEKNIS

 

Pasal 74

Sekretaris Jenderal menetapkan petunjuk teknis mengenai tata cara pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, mekanisme pembentukan TPPK dan Satuan Tugas, pengelolaan data kasus Kekerasan, serta pemberian penghargaan dalam upaya penyelenggaraan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

 

BAB XI PENDANAAN

 

Pasal 75 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek tentang PPKSP) menyatakan bahwa

(1) Kementerian, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan, dan penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan oleh Masyarakat wajib menganggarkan pendanaan untuk pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

(2) Pendanaan untuk pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dapat bersumber dari:

a. anggaran pendapatan dan belanja negara;

b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau

c. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.

 

BAB XII KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 76 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek tentang PPKSP) menyatakan bahwa

(1) TPPK pada satuan pendidikan anak usia dini dan satuan pendidikan kesetaraan dibentuk paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

(2) TPPK pada satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah, dan satuan pendidikan khusus dibentuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

(3) Satuan Tugas dibentuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

 

Pasal 77 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek tentang PPKSP) menyatakan bahwa Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua ketentuan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 101) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 78 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek tentang PPKSP) menyatakan bahwa Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 101), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 79 Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP menyatakan bahwa Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Selengkapnya silahkan download dan baca Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. LINK DOWNLOAD DISINI


Baca Juga!!! Ini Link Download Kepsesjen Kemdikbudristek Nomor 49-M-2023 Tentang Juknis Tata CaraPelaksanaan PPKSP (Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan  Di Lingkungan Satuan Pendidikan)


Demikian informasi tentang Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan. Semoga ada manfaatnya.

 

 



= Baca Juga =


*

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post