Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pdf

Download Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pdf


Download Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pdf. Perlu diketahui bahwa Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini dimaksudkan untuk menggantikan Wetboek van Strarecht atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor I Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah. Penggantian tersebut merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah, terpadu, dan terencana sehingga dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

 

Dalam perkembangannya, Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini yang diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna "dekolonialisasi" Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk "rekodifikasi", dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung berbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan, baik nasional maupun internasional.

 

Adapun misi kedua adalah misi "demokratisasi hukum pidana". Misi ketiga adalah misi "konsolidasi hukum pidana" karena sejak kemerdekaan, perundang-undangan hukum pidana mengalami perkembangan yang pesat, baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan berbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas hukum pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu, penyusunan Undang-Undang ini dilakukan atas dasar misi keempat, yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi, baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia internasional.

 

Misi tersebut diletakkan dalam kerangka politik hukum dengan melakukan penyusunan Undang-Undang ini dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi yang dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, kemanfaatan, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Setelah menelusuri sejarah hukum pidana di Indonesia, diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strarecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad 1915:732). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek van Strarecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Strarecht voor Nederlandsch-Indie disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden.

 

Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi militer Belanda I dan II yang untuk daerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strarecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad, 1915: 732) dengan segala perubahannya. Sejak saat itu, dapat dikatakan bahwa setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan keadaan itu berlangsung hingga tahun 1958 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan semua perubahan dan tambahannya berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Dengan demikian, berlakulah hukum pidana material yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942, yaitu Wetboek van Strarecht voor Nederlandsch-Indie yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sejak Indonesia merdeka telah banyak dilakukan usaha untuk menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial tersebut sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah beberapa kali mengalami pembaruan atau perubahan, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9);

2. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. I Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor I27, Tambahan lcmbaran Negara Nomor 1660);

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menaikkan ancaman hukuman dalam Pasal 359, Pasal 360, dan Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

4. Undang-Undang Nomor 16 Prp. Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1976) yang mengubah frasa "vifj en twintig gulden" dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, dan Pasal 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi frasa "dua ratus lima puluh rupiah";

5. Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 52, Tambahan lembaran Negara Nomor 1978);

6. Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 27261, yang antara lain telah menambahkan ketentuan Pasal 156a ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3040), yang mengubah ancaman pidana dalam Pasal 303 ayat (1), Pasal 542 ayat (1), dan Pasal 542 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan mengubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis;

8. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3080);

9. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (kmbaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850), klnususnya berkaitan dengan kriminalisasi terhadap penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme; dan

10. Undang-Undang Nomor 31 Tahu 999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).

 

Hal yang mendasari dari pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa berbagai pembaruan atau perubahan tersebut belum dapat memenuhi 4 (empat) misi perubahan mendasar yang telah diuraikan di atas yakni, dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan harmonisasi sehingga penyusunan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus dilakukan secara menyeluruh dan terkodifikasi.

 

Ada dua Buku dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

 

BUKU KESATU

1. Buku Kesatu berisi aturan umum sebagai pedoman bagi penerapan Buku Kedua serta Undang-Undang di luar Undang-Undang ini, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang sehingga Buku Kesatu juga menjadi dasar bagi Undang-Undang di luar Undang-Undang ini. Pengertian Istilah dalam Buku Kesatu ditempatkan dalam Bab V karena pengertian istilah tersebut tidak hanya berlaku bagi Undang-Undang ini melainkan berlaku pula bagi Undang-Undang yang bersifat lex specialis, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang. Buku Kesatu ini memuat substansi, antara lain, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, Tindak Pidana dan pertanggungiawaban pidana, pemidanaan, pidana, diversi, dan tindakan, juga tujuan dan pedoman pemidanaan, faktor yang memperingan pidana, faktor memperberat pidana, perbarengan, serta gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana, pengertian istilah, dan aturan penutup.

2. Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara Wetboek van Strarecht dan Undang-Undang ini adalah filosofi yang mendasarinya. Wetboek van Strarecht dilandasi oleh pemikiran Aliran Klasik yang berkembang pada Abad ke-18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau Tindak Pidana. Undang-Undang ini mendasarkan diri pada pemikiran aliran neo-klasik yang menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/\sikap batin). Alian ini berkembang pada Abad ke-19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau Tindak Pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek individual pelaku Tindak Pidana. Pemikiran mendasar lain yang memengaruhi penyusunan Undang-Undang ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang Korban kejahatan (victimologi) yang berkembang setelah Perang Dunia II, yang menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap Korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Falsafah daad dader straftrecht dan viktimologi akan memengaruhi perumusan 3 (tiga) permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungiawaban pidana atau kesalahan, dan sanksi (pidana dan tindakan) yang dapat dijatuhkan beserta asas hukum pidana yang mendasarinya.

3. Karakter daad dader straftrecht yang lebih manusiawi tersebut secara sistemik mewarnai Undang-Undarrg ini, antara lain, juga tersurat dan tersirat dengan adanya berbagai pengaturan yang berusaha menjaga keseimbangan antara unsur atau faktor objektif dan unsur atau faktor subjektif. Hal itu, antara lain, tercermin dari berbagai pengaturan tentang tujuan pemidanaan, syarat pemidanaan, pasangan sanksi berupa pidana dan tindakan, pengembangan altematif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, pedoman atau aturan pemidanaan, pidana mati yang merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu dialternatilkan dengan penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun, serta pengaturan batas minimum umur pertanggungiawaban pidana, pidana, dan tindakan bagi Anak.

4. Pembaruan hukum pidana material dalam Undang-Undang ini tidak membedakan lagi antara Tindak Pidana berupa kejahatan dan pelanggaran. Untuk keduanya digunakan istilah Tindak Pidana. Dengan demikian, Undang-Undang ini hanya terdiri atas 2 (dua) Buku, yaitu Buku Kesatu tentang Aturan Umum dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana. Adapun Buku Ketiga tentang Pelanggaran dalam Wetboek van Strarecht ditiadakan, tetapi substansinya secara selektif telah ditampung di dalam Buku Kedua Undang-Undang ini.

Alasan penghapusan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa secara konseptual perbedaan antara kejahatan sebagat rechtsdelict pelanggaran sebagai wetsdelict ternyata tidak dapat karena dalam perkembangannya tidak sedikit rechtsdelict dikualifikasikan sebagai pelanggaran dan sebalilknya beberapa perbuatan yang seharusnya merupakan wetsdelict dirumuskan sebagai kejahatan, hanya karena diperberat ancaman pidananya. Dalam kenyataannya terbukti bahwa persoalan berat-ringannya kualitas dan dampak kejahatan dan pelanggaran juga relatif sehingga kriteria kualitatif semacam ini tidak lagi dapat dipertahankan secara konsisten.

Dalam Undang-Undang ini diakui pula adanya Tindak Pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai Tindak Pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Dalam kenyataannya di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku Tindak Pidana. HaI tersebut mengandung arti bahwa standar nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi agar memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini.

5. Karena kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi, dan perdagangan, terutama di era globalisasi serta berkembangnya Tindak Pidana yang terorganisasi, baik yang bersifat domestik maupun transnasional, subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia secara alamiah, melainkan mencakup pula Korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini Korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan Tindak Pidana dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu Tindak Pidana. Dengan dianutnya paham Korporasi adalah subjek Tindak Pidana, hal itu berarti bahwa Korporasi, baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan Tindak Pidana dan dapat dipertanggungiawabkan dalam hukum pidana. Di samping itu, masih pula pertanggungjawaban pidana dipikul bersama oleh Korporasi dan pengurusnya yang memiliki kedudukan fungsional dalam Korporasi atau hanya pengurusnya saja yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan diatumya pertanggunglawaban pidana Korporasi dalam Buku I Undang-Undang ini, pidana Korporasi yang semula hanya berlaku untuk Tindak Pidana tertentu di luar Undang-Undang ini, berlaku juga secara umum untuk Tindak Pidana lain, baik di dalam maupun di luar Undang-Undang ini. Sanksi terhadap Korporasi dapat berupa pidana, tetapi dapat pula berupa tindakan. Dalam hal ini kesalahan Korporasi diidentifikasikan dari kesalahan pengurus yang memiliki kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili Korporasi, mengambil keputusan atas nama Korporasi, dan mempunyai kewenangan menerapkan pengawasan terhadap Korporasi) yang melakukan Tindak Pidana dengan menguntungkan Korporasi, baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu Tindak Pidana dalam lingkup usaha atau pekerjaan Korporasi tersebut, termasuk pengendali Korporasi, pemberi perintah, dan penerima manfaat.

6. Asas tiada pidana tanpa kesalahan tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun, dalam hal tertentu sebagai pengecualian penerapan asas mutlak (strict liability) dan asas pertanggungiawaban pengganti (vicarious liability). Dalam hal pertanggungjawaban mutlak, pelaku Tindak Pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur Tindak Pidana perbuatan pelaku.

7 Sedangkan dalam pertanggungjawaban pengganti, tanggung jawab pidana seseorang diperluas sampai pada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas perintahnya. Dalam Undang-Undang ini diatur jenis pidana yang berupa pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus (pidana mati) untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Jenis pidana pokok terdiri atas:

a. pidana penjara;

b. pidana tutupan;

c. pidana pengawasan;

d. pidana denda; dan

e. pidana kerja sosial.

Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial perlu dikembangkan sebagai altematif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana itu terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah. Demikian pula masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal yang bermanfaat.

Urutan jenis pidana pokok tersebut menentukan berat-ringannya pidana. Hakim dapat memilih jenis pidana yang akan diiatuhkan di antara kelima jenis pidana tersebut walaupun dalam Buku Kedua Undang-Undang ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana, yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada hakikatnya merupakan cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif pidana penjara.

Pidana mati tidak terdapat dalam untuk jenis pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan. Dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

8. Dalam pemidanaan dianut sistem dua jalur (double-track system), yaitu di samping jenis pidana tersebut, Undang-Undang ini mengatur pula jenis tindakan. Dalam hal ini, hakim dapat mengenakan tindakan kepada mereka yang melakukan Tindak Pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungiawabkan perbuatannya yang disebabkan pelaku menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.

Di samping dijatuhi pidana dalam hal tertentu, terpidana juga dapat dikenai tindakan dengan maksud untuk memberi pelindungan kepada masyarakat dan mewujudkan tata tertib sosial.

9.. Pidana minimum khusus dapat diancamkan berdasarkan pertimbangan: a) menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi Tindak Pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya; b) lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi Tindak Pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat; dan c) jika dalam keadaan tertentu maksimum pidana dapat diperberat, dapat dipertimbangkan pula bahwa minimum pidana untuk Tindak Pidana tertentu dapat diperberat.

Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk Tindak Pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, sangat membahayakan, atau sangat meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.

10. Dalam Undang-Undang ini jenis pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem itu dimaksudkan agar dalam perumusan Tindak Pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda yang sudah ditentukan dalam Buku Kesatu. Dasar pemikiran penggunaan sistem kategori tersebut adalah bahwa pidana denda merupakan jenis pidana yang relatif sering berubah nilainya karena perkembangan nilai mata uang akibat situasi perekonomian. Dengan demikian, jika terjadi perubahan nilai mata uang, sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian.

11. Dalam Undang-Undang ini diatur pula diversi dan jenis tindakan serta pidana bagi Anak. Pengaturan ini dimaksudkan untuk kepentingan terbaik bagi Anak karena berkaitan dengan adanya Undang-Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak dan selain itu Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak.

 

BUKU KEDUA

1. Untuk menghasilkan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bersifat kodilikasi dan unifikasi, di samping dilakukan evaluasi dan seleksi terhadap berbagai Tindak Pidana yang ada di dalam Wetboek van Strarecht sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, apresiasi juga dilakukan terhadap berbagai perkembangan Tindak Pidana yang ada diluar Wetboek van Strarecht voor Nederlandsch-Indie, antara lain, Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang, pemberantasan Tindak Pidana terorisme, pemberantasan Tindak Pidana korupsi, pemberantasan Tindak Pidana perdagangan orang, dan pengadilan hak asasi manusia.

2. Secara antisipatif dan proaktif, juga dimasukkan antara lain, pengaturan tentang Tindak Pidana Pornografi, Tindak Pidana terhadap informatika dan elektronika, Tindak Pidana penerbangan, Tindak Pidana terhadap organ, jaringan tubuh, dan darah manusia, dan Tindak Pidana terhadap proses peradilan.

3. Di samping itu, Undang-Undang ini juga mengadopsi konvensi internasional baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi, antara lain, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

4. Dengan sistem perumusan Tindak Pidana di atas, untuk Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, Tindak Pidana narkotika dikelompokkan dalam 1 (satu) bab tersendiri yang dinamai "Bab Tindak Pidana Khusus". Penempatan dalam bab tersendiri tersebut didasarkan pada karakteristik khusus, yaitu: a) dampak viktimisasinya (Korbannya) besar; b) sering bersifat transnasional terorganisasi; c) pengaturan acara pidananya bersifat khusus; d) sering menyimpang dari asas umum hukum pidana material; e) adanya lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat dan memiliki kewenangan khusus (misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia); f) didukung oleh berbagai konvensi internasional, baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifitasi; dan g) merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super mala per se) dan tercela dan sangat dikutuk oleh masyarakat (strong people Condemnation).

Dengan pengaturan "Bab Tindak Pidana Khusus" tersebut, kewenangan yang telah ada pada lembaga penegak hukum tidak berkurang dan tetap berwenang menangani Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, dan Tindak Pidana narkotika.

5. Pembentukan Undang-Undang ini juga memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pengujian KUHP, antara lain, mengenai Tindak Pidana penghinaan Presiden, Tindak Pidana mengenai penodaan agama, dan Tindak Pidana kesusilaan.

6. Sejalan dengan proses globalisasi, laju pembangunan dan perkembangan sosial yang disertai dengan mobilitas sosial yang cepat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperkirakan jenis Tindak Pidana baru masih akan muncul di kemudian hari. Oleh karena itu, pengaturan jenis Tindak Pidana baru yang belum diatur dalam Undang-Undang ini atau yang akan muncul di kemudian hari dapat dilakukan melalui perubahan terhadap Undang-Undang ini atau mengaturnya dalam Undang-Undang tersendiri karena kekhususannya atas dasar Pasal 187 Buku Kesatu.

 

Selengkapnya silahkan download dan baca Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pdf.  LINK DOWNLOAD DISINI

 

Demikian informasi tentang Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pdf. Semoga ada manfaatnya.



= Baca Juga =



*

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post