Apa dan bagaimana Sejarah
Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia. Jauh
sebelum periode pengusulan Pancasila, cikal bakal munculnya ideologi bangsa itu
diawali dengan lahirnya rasa nasionalisme yang menjadi pembuka ke pintu gerbang
kemerdekaan bangsa Indonesia. Ahli sejarah, Sartono Kartodirdjo, sebagaimana
yang dikutip oleh Mochtar Pabottinggi dalam artikelnya yang berjudul Pancasila
sebagai Modal Rasionalitas Politik, menengarai bahwa benih nasionalisme sudah
mulai tertanam kuat dalam gerakan Perhimpoenan Indonesia yang sangat menekankan
solidaritas dan kesatuan bangsa. Perhimpoenan Indonesia menghimbau agar segenap
suku bangsa bersatu teguh menghadapi penjajahan dan keterjajahan. Kemudian , disusul
lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 merupakan momen -momen perumusan diri
bagi bangsa Indonesia . Kesemuanya itu merupakan modal politik awal yang sudah
dimiliki tokoh-tokoh pergerakan sehingga sidang -sidang maraton BPUPKI yang
difasilitasi Laksamana Maeda, tidak sedikitpun ada intervensi dari pihak
penjajah Jepang. Para peserta sidang BPUPKI ditunjuk secara adil, bukan hanya
atas dasar konstituensi, melainkan juga atas dasar integritas dan rekam jejak
di dalam konstituensi masing-masing. Oleh karena itu, Pabottinggi menegaskan
bahwa diktum John Stuart Mill atas Cass R. Sunstein tentang keniscayaan
mengumpulkan the best minds atau the best character yang dimiliki suatu bangsa,
terutama di saat bangsa tersebut hendak membicarakan masalah -masalah
kenegaraan tertinggi, sudah terpenuhi. Dengan demikian, Pancasila tidaklah
sakti dalam pengertian mitologis, melainkan sakti dalam pengertian berhasil
memenuhi keabsahan prosedural dan keabsahan esensial sekaligus. (Pabottinggi,
2006: 1 58-159).
Selanjutnya , sidang
-sidang BPUPKI berlangsung secara bertahap dan penuh dengan semangat musyawarah
untuk melengkapi goresan sejarah bangsa Indonesia hingga sampai kepada masa
sekarang ini. Perumusan
Pancasila pada awalnya dilakukan dalam sidang BPUPKI pertama yang dil aksanakan
pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI dibentuk oleh Pemerintah
Pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota 60 orang. Badan ini
diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua orang Ketua
Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibang ase (orang Jepang).
BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke -16 Jepang di
Jakarta, pada 28 Mei 1945. Sehari setelah dilantik, 29 Mei 1945, dimulailah
sidang yang pertama dengan materi pokok pembicaraan calon dasar negara.
Siapa sajakah tokoh-tokoh
yang berbicara dalam sidang BPUPKI tersebut? Menurut catatan sejarah, diketahui
bahwa sidang tersebut menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir.
Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan
usulan tentang dasar negara menurut pandangannya masing-masing. Meskipun
demikian perbedaan pendapat di antara mereka tidak mengurangi semangat
persatuan dan kesatuan demi mewujudkan Indonesia merdeka. Sikap toleransi yang berkembang
di kalangan para pendiri negara seperti inilah yang seharusnya perlu diwariskan
kepada generasi berikut, termasuk kita.
Sebagaimana Anda ketahui
bahwa salah seorang pengusul calon dasar negara dalam sidang BPUPKI adalah Ir.
Soekarno yang berpidato pada 1 Juni 1945. Pada hari itu, Ir. Soekarno
menyampaikan lima butir gagasan tentang dasar negara sebagai berikut:
a. Nasionalisme atau
Kebangsaan Indonesia,
b. Internasionalisme atau
Peri Kemanusiaan,
c. Mufakat atau Demokrasi,
d. Kesejahteraan Sosial,
e. Ketuhanan yang
berkebudayaan.
Berdasarkan catatan
sejarah, kelima butir gagasan itu oleh Soekarno diberi nama Pancasila . Selanjutnya,
S oekarno juga mengusulkan jika seandainya peserta sidang tidak menyukai angka
5, maka ia menawarkan angka 3, yaitu Trisila yang terdiri atas (1)
Sosio-Nasionalisme, (2) Sosio-Demokrasi, dan (3) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Soekarno akhirnya juga menawarkan angka 1, yaitu Ekasila yang berisi asas
Gotong -Royong.
Sejarah mencatat bahwa
pidato lisan Soekarno inilah yang di kemudian hari diterbitkan oleh Kementerian
Penerangan Republik Indonesia dalam bentuk buku yang berjudul Lahirnya
Pancasila (1947). Perlu diketahui bahwa dari judul buku tersebut
menimbulkan kontroversi seputar lahirnya Pancasila. Di satu pihak, ketika
Soekarno masih berkuasa, terjadi semacam pengultusan terhadap Soekarno sehingga
1 Juni selalu dirayakan sebagai hari lahirnya Pancasila. Di lain pihak, ketika
pemerintahan Soekarno jatuh, muncul upaya-upaya “de-Soekarnoisasi” oleh
penguasa Orde Baru sehingga dikesankan seolah-olah Soekarno tidak besar
jasanya dalam penggalian dan perumusan Pancasila.
Setelah pidato Soekarno,
sidang menerima usulan nama Pancasila bagi dasar filsafat negara (
Philosofische grondslag ) yang diusulkan oleh Soekarno, dan kemudian dibentuk
panitia kecil 8 orang (Ki Bagus Hadi Kusumo, K.H. Wahid Hasyim, Muh. Yamin,
Sutarjo, A.A. Maramis, Otto Iskandar Dinata, dan Moh. Hatta) yang bertugas
menampung usul-usul seputar calon dasar negara. Kemudian, sidang pertama BPUPKI
(29 Mei - 1 Juni 1945) ini berhenti untuk sementara.
Hal terpenting yang
mengemuka dalam sidang BPUPKI kedua pada 10 - 16 Juli 1945 adalah disetujuinya
naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan nama Piagam
Jakarta. Piagam Jakarta itu merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan
Indonesia. Pada alinea keempat Piagam Jakarta itulah terdapat rumusan
Pancasila sebagai berikut.
1.
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.
Persatuan Indonesia
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Naskah awal “Pembukaan
Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta” ini di kemudian hari dijadikan
“Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah perubahan di sana -sini.
Ketika para pemimpin
Indonesia sedang sibuk mempersiapkan kemerdekaan menurut skenario Jepang,
secara tiba -tiba terjadi perubahan peta politik dunia. Salah satu penyebab
terjadinya perubahan peta politik dunia itu ialah takluknya Jepang terhadap
Sekutu. Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada
6 Agustus 1945. Sehari setelah peristiwa itu, 7 Agustus 1945, Pemerintah
Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan maklumat yang berisi:
(1)
pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan K emerdekaan bagi
Indonesia (PPKI),
(2)
panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai bersidang 19
Agustus 1945, dan
(3)
direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan.
Esok paginya, 8 Agustus
1945, Sukarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil Jenderal Terauchi (Penguasa Militer
Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang
kota itu bernama Ho Chi Minh).
Ketiga tokoh tersebut
diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera membentuk suatu Panitia Persiapan
Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai dengan maklumat Pemerintah Jepang 7 Agustus
1945 tadi . Sepulang dari Saigon, ketiga tokoh tadi membentuk PPKI dengan total
anggota 21 orang , yaitu: S oekarno, Moh. Hatta, Ra d jiman, Ki Bagus
Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo, Suryohamijoyo, Sutarjo, Supomo,
Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir, Abdul Abbas, Ratulangi, Andi Pangerang,
Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan, Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan (Sartono
Kartodirdjo, dkk., 1975: 16 -- 17).
Jatuhnya Bom di Hiroshima
belum membuat Jepang takluk, Amerika dan sekutu akhirnya menjatuhkan bom lagi di
Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang meluluhlantakkan kota tersebut sehingga
menjadikan kekuatan Jepang semakin lemah. Kekuatan yang semakin melemah,
memaksa Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus
1945. Konsekuensi dari menyerahnya Jepang kepada sekutu, menjadikan daerah
bekas pendudukan Jepang beralih kepada wilayah perwalian sekutu, termasuk Indonesia.
Sebelum tentara sekutu dapat menjangkau wilayah -wilayah itu, untuk sementara
bala tentara Jepang masih ditugasi sebagai sekad ar penjaga kekosongan
kekuasaan.
Kekosongan kekuasaan ini
tidak disia -siakan oleh para tokoh nasional. PPKI yang semula dibentuk Jepang
karena Jepang sudah kalah dan tidak berkuasa lagi, maka para pemimpin nasional pada
waktu itu segera mengambil keputusan politis yang penting. Keputusan politis
penting itu berupa melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan Jepang dan
mempercepat rencana kemerdekaan bangsa Indonesia.
Peristiwa penting lainnya terjadi
pada 12 Agustus 1945, ketika itu Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat
dipanggil oleh penguasa militer Jepang di Asia Selatan ke Saigon untuk membahas
tentang hari kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang pernah dijanjikan. Namun,
di luar dugaan ternyata pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu
tanpa syarat. Pada 15 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke
Indonesia.
Kedatangan mereka disambut
oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia
diproklamasikan secepatnya karena mereka tanggap t erhadap perubahan situasi
politik dunia pada masa itu. Para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang menyerah
kepada sekutu sehingga Jepang tidak memiliki kekuasaan secara politis di
wilayah pendudukan, termasuk Indonesia. Perubahan situasi yang cepat itu meni
mbulkan kesalahpahaman antara kelompok pemuda dengan Soekarno dan kawan-kawan
sehingga terjadilah penculikan atas diri Soekarno dan M. Hatta ke Rengas
Dengklok (dalam istilah pemuda pada waktu itu “mengamankan”), tindakan pemuda
itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00 WIB menjelang 1
6 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta (Kartodirdjo, dkk., 1975: 26) .
Melalui jalan berliku,
akhirnya dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks
kemerdekaan itu didiktekan oleh Moh. Hatta dan ditulis oleh Soekarno pada dini
hari. Dengan demikian, naskah bersejarah teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia
ini digagas dan ditulis oleh dua tokoh proklamator tersebut sehingga wajar jika
mereka dinamakan Dwitunggal. Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti
Melik. Rancangan pernyataan kemerdekaan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI
yang diberi nama Piagam Jakarta, akhirnya tidak dibacakan pada 17 Agustus 1945
karena situasi politik yang berubah (Lihat Pemahaman Sejarah Indonesia:
Sebelum dan Sesudah Revolusi, William Frederick dan Soeri Soeroto, 2002: hal.
308 –311). Adapun nasakh teks Proklamasi yang dikenal luas adalah sebagai
berikut:
Proklamasi
Kami
Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dll. diselenggarakan dengan cara
saksama
dan dalam tempo yang sesingkat -singkatnya.
Jakarta,
17 Agustus 2605
Atas
Nama Bangsa Indonesia
Soekarno
-Hatta
Perlu diketahui bahwa
sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yakni 18 Agustus 1945, PPKI
bersidang untuk menentukan dan menegaskan posisi bangsa Indonesia dari semula
bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka. PPKI yang semula merupakan badan
buatan pemerintah Jepang, sejak saat itu dianggap mandiri sebagai badan
nasional. Atas prakarsa Soekarno, anggota PPKI ditambah 6 orang lagi, dengan
maksud agar lebih mewakili seluruh komponen bangsa Indonesia. Mereka adalah Wiranatakusumah,
Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, Iwa Koesoema Soemantri,
dan Ahmad Subarjo .
Indonesia sebagai bangsa
yang merdeka memerlukan perangkat dan kelengkapan kehidupan bernegara, seperti:
Dasar Negara, Undang-Undang Dasar, Pemimpin negara, dan perangkat pendukung
lainnya. Putusan-putusan penting yang dihasilkan mencakup hal -hal berikut:
1.
Mengesahkan Undang -Undang Dasar Negara (UUD ‘45) yang terdiri atas Pembukaan
dan Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam Jakarta dengan sejumlah
perubahan. Batang Tubuh juga berasal dari rancangan BPUPKI dengan sejumlah
perubahan pula.
2.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta).
3.
Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI ditambah tokoh
-tokoh masyarakat dari banyak golonga n. Komite ini dilantik 29 Agustus 1945
dengan ketua Mr. Kasman Singodimejo.
Rumusan Pancasila dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.
Persatuan Indonesia.
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah bangsa Indonesia
juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang disahkan PPKI ternyata berbeda
dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini terjadi
karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia
Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang
kata “Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Tuntutan ini ditanggapi
secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi perubahan yang
disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian
hari dan diganti dengan istilah “ Yang Maha Esa”.
Setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan yang kemudian diikuti dengan pengesahaan Undang
-Undang Dasar 1945, maka roda pemerintahan yang seharusnya dapat berjalan
dengan baik dan tertib, ternyata menghadapi sejumlah tantangan yang mengancam
kemerdekaan negara dan eksistensi Pancasila. Salah satu bentuk ancaman itu
muncul dari pihak Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.
Belanda ingin menguasai kembali
Indonesia dengan berbagai cara. Tindakan Belanda itu dilakukan dalam bentuk
agresi selama kurang lebih 4 tahun. Setelah pengakuan kedaulatan bangsa
Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949, maka Indonesia pada 17 Agustus
1950 kembali ke negara kesatuan yang sebelumnya berbentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Perubahan bentuk negara
dari Negara Serikat ke Negara Kesatuan tidak diikuti dengan penggunaan Undang
-Undang Dasar 1945, tetapi dibuatlah konstitusi baru yang dinamakan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Permasalahannya ialah ketika
Indonesia kembali Negara Kesatuan, ternyata tidak menggunakan Undang -Undang
Dasar 1945 sehingga menimbulkan persoalan kehidupan bernegara dikemudian hari.
Berdasarkan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 dilaksanakanlah Pemilu yang pertama pada 1955. Pemilu ini
dilaksanakan untuk membentuk dua badan perwakilan, yaitu Badan Konstituante
(yang akan mengemban tugas membuat Konstitusi/Undang-Undang Dasar) dan DPR
(yang akan berperan sebagai parlemen). Pada 1956, Badan Konstituante mulai
bersidang di Bandung untuk membuat UUD yang definitif sebagai pengganti UUDS
1950. Sebenarnya telah banyak pasal-pasal yang dirumuskan, akan tetapi sidang menjadi
berlarut-larut ketika pembicaraan memasuki kawasan dasar negara.
Sebagian anggota
menghendaki Islam sebagai dasar negara, sementara seba gian yang lain tetap
menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Kebuntuan ini diselesaikan lewat
voting, tetapi selalu gagal mencapai putusan karena selalu tidak memenuhi
syarat voting yang ditetapkan. Akibatnya, banyak anggota Konstituante yang menyataka
n tidak akan lagi menghadiri sidang. Keadaan ini memprihatinkan Soekarno
sebagai Kepala Negara. Akhirnya, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengambil langkah “darurat” dengan mengeluarkan dekrit.
Setelah Dekrit Presiden
Soekarno 5 Juli 1959, seharusnya pelaksanaan sistem pemerintahan negara
didasarkan pada Undang- Undang Dasar 1945. Karena pemberlakuan kembali UUD 1945
menuntut konsekuensi sebagai berikut :
·
Pertama, penulisan Pancasila sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
·
Kedua, penyelenggaraan negara seharusnya dilaksanakan
sebagaimana amanat Batang Tubuh UUD ‘45.
·
Ketiga,
segera dibentuk MPRS dan DPAS.
Pada kenyataannya, setelah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terjadi beberapa hal yang berkaitan dengan penulisan
sila-sila Pancasila yang tidak seragam. Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli
1959 oleh Presiden Soekarno, terjadi beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945.
Antara lain, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960.
Selain itu, kekuasaan Presiden Soekarno berada di puncak piramida, artinya
berada pada posisi tertinggi yang membawahi ketua MPRS, ketua DPR, dan ketua
DPA yang pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai menteri dalam kabinetnya sehingga
meng akibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan pengaruh berbagai pihak
dengan berbagai cara, baik dengan mendekati maupun menjauhi presiden.
Pertentangan antarpihak begitu keras, seperti yang terjadi antara tokoh PKI
dengan perwira Angkatan Darat (AD) sehingga terjadilah penculikan dan
pembunuhan sejumlah perwira AD yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30
September (G30S PKI).
Peristiwa G30S PKI menimbulkan
peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Peralihan kekuasan itu diawali
dengan terbitnya Surat Perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal
Soeharto, yang di kemudian hari terkenal dengan nama Supersemar (Surat
Perintah Sebelas Maret). Surat itu intinya berisi perintah presiden kepada Soeharto agar “mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan keadaan”. Supersemar ini dibuat di Istana Bogor dan dijemput oleh Basuki Rahmat, Amir
Mahmud, dan M. Yusuf. Supersemar ini pun juga menjadi kontroversial di belakang
hari. Supersemar yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto
itu kemudian dikuatkan dengan TAP No. IX/MPRS/1966 pada 21 Juni 1966. Dengan demikian,
status supersemar menjadi berubah: Mula-mula hanya sebuah surat perintah
presiden kemudian menjadi ketetapan MPRS. Jadi, yang memerintah Soeharto bukan
lagi Presiden Soekarno, melainkan MPRS. Hal ini merupakan fakta sejarah
terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto . Bulan berikutnya,
tepatnya 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan TAP No. XVIII/ MPRS/1966 yang isinya
mencabut TAP No. III/MPRS/1960 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden
Seumur Hidup. Konsekuensinya, sejak saat itu Soekarno bukan lagi berstatus
sebagai presiden seumur hidup.
Setelah menjadi
presiden, Soeharto mengeluarkan Inpres No. 12/1968 tentang penulisan dan
pembacaan Pancasila sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
(ingatlah, dulu setelah Dekrit 5 Juli 1959 penulisan Pancasila beraneka ragam).
Ketika MPR mengadakan Sidang Umum 1978 Presiden Soeharto mengajukan usul
kepada MPR tentang Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P-4). Usul
ini diterima dan dijadikan TAP No. II/MPR/1978 tentang P-4 (Ekaprase tia
Pancakarsa). Dalam TAP itu diperintahkan supaya Pemerintah dan DPR
menyebarluaskan P-4. Presiden Soeharto kemudian mengeluarkan Inpres No.
10/1978 yang berisi Penataran bagi Pegawai Negeri Republik Indonesia. Kemudian,
dikeluarkan juga Keppres No. 10/1 979 tentang pembentukan BP -7 dari tingkat
Pusat hingga Dati II. Pancasila juga dijadikan satu -satunya asas bagi orsospol
(tercantum dalam UU No. 3/1985 ttg. Parpol dan Golkar) dan bagi ormas
(tercantum dalam UU No. 8/1985 ttg. Ormas). Banyak pro dan kontra atas lahirnya
kedua undang-undang itu. Namun, dengan kekuasaan rezim Soeharto yang makin
kokoh sehingga tidak ada yang berani menentang (BP7 Pusat, 1971).
Tags:
wawasan